Friday, March 22, 2013

The Lord's Prayer



Doa Bapa Kami  (Matius 6:9-15)
Pdt. Billy Kristanto

Doa Bapa kami adalah doa yang utuh sekaligus mencakup banyak aspek. Ada yang membagi aspek-aspek doa ke dalam akronim ACTS: Adoration (pemuliaan), Confession (pengakuan dosa), Thanksgiving (ucapan syukur) dan Supplication (permintaan/ permohonan). Doa Bapa kami mencakup semua aspek tersebut.

Ayat 11 berbicara tentang kebutuhan fisik kita. Dengan melatih berdoa demikian, kita belajar membedakan mana yang keinginan dan mana yang sungguh-sungguh kebutuhan. Keinginan kita sering kali liar dan tidak sesuai Firman Tuhan. Dengan melatih berdoa sedemikian, kita menajamkan spiritual taste/appetite untuk mendoakan apa yang benar-benar kita butuhkan. Apa yang bisa dipelajari dari orang yang berdoa meminta (supplication) kepada Tuhan?

Pertama, orang itu menyadari kemiskinan rohaninya. Orang yang tidak pernah berdoa memohon, sebenarnya dia tidak menyadari bahwa hidupnya sangat miskin. Dia akan dijangkiti perasaan puas diri. Lain halnya dengan pengemis yang selalu meminta-minta (dalam hal ini meminta anugerah Tuhan). Waktu kita minta kepada Tuhan, Tuhan sebenarnya tidak bosan. Itu sebenarnya menyatakan kehidupan yang sungguh-sungguh menyatakan diri kita apa adanya. Kalau kita tidak mengemis kepada Tuhan, itu seolah-olah menyatakan bahwa diri kita self-sufficient, sehingga akhirnya menjadi suatu kecelakaan bagi hidup kita.

Dalam khotbah di bukit (Mat 5:3), dikaitkan antara penghayatan kemiskinan rohani dengan kepemilikan Kerajaan Sorga. Dalam Doa Bapa kami, permintaan yang terutama adalah "datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga." Permintaan itu sendiri menyatakan pengertian akan kemiskinan rohani (baik dalam hidup pribadi maupun keadaan dunia ini). Orang yang tidak pernah berdoa meminta, dia tidak sungguh-sungguh mengerti Kerajaan Allah. Dia tidak sungguh-sungguh menikmati berkat Kerajaan Allah. Maka seseorang yang betul-betul mau terlibat di dalam Kerajaan Allah, dia harus belajar dalam kehidupannya terus-menerus meminta kepadaNya karena itu menyatakan kehidupan yang bergantung. Orang-orang Farisi jarang meminta, mereka lebih sering menyatakan ‘syukur’. Seolah kehidupan rohaninya lebih baik. Kita lebih sering menganggap orang yang bersyukur lebih baik dari meminta, bukan? Orang-orang Farisi bersyukur bahwa dia orang baik, bukan pezinah, bukan perampok, memberi perpuluhan dan lain-lain. Mereka tidak minta apa-apa. Tetapi ini adalah kecelakaan bagi diri mereka karena mereka tidak mengenal kebutuhan mereka yang sesungguhnya. Mereka seolah-olah lebih mengenal diri mereka sendiri dari pada Tuhan, sehingga mereka akhirnya dilewati oleh Tuhan. Mereka tidak menyadari kemiskinan rohani karena mereka tidak berharap dan bergantung kepada Tuhan.

Kedua, kita meminta apa yang menjadi janji Tuhan. Mengapa kita kurang bersemangat, kurang berkobar-kobar dalam berdoa? Karena kita tidak sadar begitu luas, begitu lebar, begitu dalam, begitu kayanya janji Tuhan untuk kehidupan kita. Orang yang tidak suka berdoa meminta kepada Tuhan hanya menyatakan bahwa dia tidak perduli akan janji Tuhan! Orang kristen yang kurang mengerti janji Tuhan akan menjadi orang yang kurang tekun, kurang rajin, kurang menyala-nyala dalam doa. Ini membawa kepada suatu kehidupan doa yang kering, yang tidak menarik dan tidak mempermuliakan Tuhan. Waktu kita memikirkan janji-janji Tuhan, seharusnya lebih membawa kepada kehidupan berdoa untuk memohon apa yang Tuhan janjikan dan yang Tuhan berkenan memberikan kepada kita. Tuhan lebih ingin memberikan berkatNya kepada kita daripada kita menginginkan berkatNya (ayat 8). Ini karena Bapa yang di surga sudah mengetahui apa yang kita perlukan. Persoalan mengapa kita kurang berdoa adalah karena kita kurang mengerti bahwa Tuhan, bukan hanya siap melainkan juga sangat rindu untuk memberkati kehidupan kita.

Ketiga, dengan kita memohon kita sedang mempersiapkan diri untuk menuai sukacita yang besar. "Sampai sekarang kamu belum meminta, mintalah dalam namaKu supaya penuhlah sukacitamu". Apakah kalau kita tidak meminta Tuhan bisa memberi? Pasti bisa. Apakah kita berdoa untuk kesehatan setiap hari? Sejujurnya tidak, mungkin orang yang sakit baru belajar menghargai, bersyukur dan berdoa untuk kesehatan. Tetapi orang yang jarang sakit, mungkin kurang peduli dengan kesehatan. Ada begitu banyak hal dalam kehidupan kita yang kita tidak doakan tetapi Tuhan masih memberikan tanpa kita meminta. Coba kita bayangkan kesehatan yang kita tidak minta tetapi Tuhan berikan. Orang seperti ini akan tidak terlalu bersukacita dengan kesehatannya dibandingkan orang yang bergumul bertahun-tahun dengan kesehatannya dan berharap Tuhan menyembuhkannya. Orang yang kedua akan lebih bersukacita seandainya Tuhan berkenan mengaruniakan kesembuhan kepadanya. Apakah orang yang kedua bersukacita karena lebih sehat dari yang pertama? Mungkin tidak, mungkin dia sembuhnya hanya sedikit saja dan tidak betul-betul pulih. Tetapi dia begitu bersyukur akan kesehatan yang dia terima. Bukan karena tingkat kesehatannya. Kalau begitu apa? Itu adalah tergantung dari besarnya pergumulan yang dialaminya. Orang yang jarang meminta pasti hidupnya jarang bersuka cita karena hidupnya jarang bergumul untuk minta sesuatu yang akhirnya Tuhan berikan. Simpang-siurnya teologi doa saat ini (banyak teologi doa yang mengajarkan permintaan2 ngawur) samasekali bukan berarti kita lalu tidak perlu lagi berdoa meminta! Sekalipun Tuhan tetap memberi berkatnya pada kita tetapi kita menjadi orang yang kurang peka terhadap pemberian Tuhan, anugerah Tuhan, sehingga mempengaruhi kehidupan sukacita kita. Akhirnya kita yang rugi, bukan Tuhan.

Ayat 12 membicarakan tentang pengampunan dosa. Kita meminta pengampunan dosa disertai kesiapan untuk mengampuni dosa orang lain. Yang menarik dalam ayat terakhir (ayat 14 – 15), ada pengulangan tentang hal ini (mengampuni dosa). Jika kita mengampuni dosa orang lain maka Bapa yang di surga akan mengampuni kita juga. Kalau kita tidak mengampuni orang, maka Bapa di surga pun tidak akan mengampuni kita. Mengapa kalimat ini diulangi? Kita percaya karena Tuhan tahu ini adalah salah satu hal yang paling sulit dalam hidup kita. Tuhan tahu kelemahan ini. Pengakuan dosa selalu dikaitkan dengan pengampunan. Tanpa pengampunan maka tidak ada ketulusan. Kita berdoa minta pengampunan kepada Tuhan tetapi kita sendiri tidak siap untuk mengampuni orang lain. Doa ini menjadi tidak tulus di hadapan Tuhan. Ini adalah semacam kemunafikan di hadapan Tuhan.

Seperti di ayat yang sebelumnya, waktu kita berdoa tentang makanan, kita juga berdoa untuk orang lain. Karena dalam doa Bapa kami dikatakan "berikanlah makanan kami", bukan makanan saya. Demikian juga, saya berdoa untuk kesalahan saya dan juga saya berdoa untuk mengampuni orang lain. Mengampuni orang lain maksudnya adalah berdoa juga untuk pengampunan dosa bagi orang lain. Hal ini berarti selalu bersifat komunal. Kebanyakan orang-orang Injili mengembangkan konsep kekudusan pribadi (personal holiness), mengembangkan konsep kekudusan komunal (communal holiness) juga sangat penting. Kekudusan pribadi tidak salah karena kekudusan, spritualitas memang harus dikaitkan dengan "aku". Ini bukan egois, karena kita memang diciptakan sebagai satu individu. Kita bertanggung jawab secara pribadi, beriman secara pribadi, ini pasti tidak salah dan ini sangat perlu. Memang pribadi harus lebih dulu, karena bagaimana kita bisa mengerti komunalitas jika pengertian pribadi sendiri tidak beres. Tetapi ada juga waktunya kita membahas persoalan secara komunal. Pertanyaan "bagaimana saya menyenangkan Tuhan" bisa juga dikembangkan menjadi "bagaimana gereja di mana saya beribadah bisa menyenangkan Tuhan?" Tuhan Yesus mengajar doa Bapa kami bukan untuk pribadi saja, melainkan secara komunal. Kalaupun berdoa secara pribadi, tetap dilakukan dalam spirit komunal, persekutuan tubuh Kristus.

Ayat 12 ini berbicara tentang pengampunan, yang harus dimengerti berkait erat dengan spirit pengakuan dosa. Di dalam liturgi, ada doa pengakuan dosa dan doa syafaat. Biasanya kalau kita doa pengakuan, kita berdoanya di dalam hati. Kalau doa penginjilan bisa bersuara. Mengapa di dalam hati? Secara positif hal ini menyatakan hubungan kita dengan Tuhan adalah hubungan yang pribadi, transparan di hadapan Tuhan. Mengapa tidak buka suara? Dapatkah Saudara membayangkan apa yang akan terjadi kalau kita buka suara untuk doa pengakuan dosa? Kemungkinan pertama, kita akan mengatakan hal-hal superfisial (permukaan), "Tuhan ampunilah saya yang tidak mengasihi Engkau dengan segenap hati, segenap akal budi, segenap jiwa, segenap kekuatan dan tidak mengasihi sesama seperti diri sendiri." Persoalan pengakuan adalah persoalan yang sangat rumit, khususnya sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Setelah manusia jatuh dalam dosa, Adam berdosa, Hawa berdosa, setan juga berdosa. Tetapi waktu Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, mereka bukannya saling mengaku, melainkan saling menuduh. Ini adalah anti-tesis pengakuan dosa. Lawan dari mengaku dosa adalah saling menuduh. Karena tidak mau dibongkar kesalahannya dan diketahui orang lain, maka kesalahannya dilempar ke orang lain. Sampai yang paling akhir, yang dituduh adalah setan. Setan memiliki ‘penyangkalan diri’ yang ‘luar biasa’. Setan ‘rela’ menanggung semua kesalahan (memang tidak ada lagi yang dia bisa lempar kesalahan, dia sudah yang terakhir, apa boleh buat), namun ia bergembira karena tujuannya sudah tercapai yaitu sudah memecah-belahkan persekutuan yang indah antara Adam dan Hawa.

Ketika kita kurang mengaku dosa di hadapan Allah, kita cenderung saling mempersalahkan. Ini merusak persekutuan komunal sekaligus menghancurkan diri sendiri. Bahkan, pengakuan pun jika tidak dilakukan dalam penghayatan anugerah Tuhan bisa menghancurkan orang lain atau diri sendiri. Berapa banyak orang yang merasa bersalah, merasa diri tidak berguna dan akhirnya bunuh diri? Dia membenci diri sendiri, dia tahu dia salah, tetapi berlarut-larut dalam ‚penghayatan’ kesalahan itu dan akhirnya bunuh diri. Mengapa pengakuan itu sangat menakutkan? Yaitu karena kita hidup di dalam dunia yang sudah jatuh, di mana pengampunan pun terjadi sangat minim. Persoalan dasarnya adalah kita sebenarnya takut tidak diampuni. Kalau saya sudah membuka diri (beserta dengan kelemahan yang ada pada saya), tetapi orang itu lalu membenci dan menghina saya, maka saya akan disingkirkan dan dipojokkan, ini akan menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan. Maka orang jadi takut untuk mengaku, jangankan mengaku di hadapan sesama, mengaku di hadapan Tuhan saja mungkin juga enggan, karena beranggapan bahwa Tuhan pun mungkin juga seperti manusia, ada semacam ketakutan di sini. Pengakuan harus diletakkan di bawah anugrah Tuhan. Inilah yang membuat Agustinus berani menulis karyanya "Confession". Kalau kita melihat dalam buku itu, dia bukan hanya membongkar kejelekan dirinya, dia juga sekaligus percaya bahwa Tuhan mengampuninya. Inilah yang membuat dia berani menyaksikan kehidupan dirinya yang begitu bobrok. Ia bukan menyaksikan kehidupan masa lalunya yang bobrok untuk dibangga-banggakan, namun ia menyatakannya di bawah terang kasih Allah. Pengakuan menolong kita untuk mengenal diri kita lebih baik. Waktu kita mengaku, pasti kita mau tidak mau menyelediki diri kita apa adanya. Waktu kita melihat kelebihan, kita memuliakan Tuhan, kita mengembalikan semua kemuliaan kepada Tuhan. Waktu kita melihat kelemahan/ keberdosaan/kekurangan diri kita, kita menjadi orang yang semakin mengenal diri kita. Orang yang tidak suka mengaku, tidak mengenal dirinya sendiri, dia akan menjadi seorang yang menilai diri salah karena dia tidak mengenal dirinya secara tepat seperti Tuhan mengenal dia. Waktu seseorang mengaku dosa, salah satu berkat terbesar yang kita peroleh yaitu pengenalan diri di bawah pengenalan Tuhan.

No comments:

Post a Comment