Sunday, April 28, 2013

Cahaya Bagi Biarawan Yang Buta

    "Mea culpa; mea culpa -- dosa-dosa saya, dosa-dosa saya," biarawan muda itu berteriak ketika ia menjatuhkan dirinya ke lantai di hadapan kepala biaranya.
     "Berilah saya pengampunan Allah dan pengampunan bapak," ia memohon.
    "Kemelaratan, kesucian dan ketaatan harus menjadi sahabat anda yang terbaik," jawab kepala biara itu dengan suara melagu.
   Martin Luther yang masih muda itu, anak seorang petani Jerman, berjanji dengan sungguh-sungguh. Kemudian dengan berpakaian dalam dari wol, berjubah hitam, bertopi runcing pendek serta memakai ikat pinggang hitam ia mulai berusaha memperoleh belas kasihan Allah.
    Betapa kerasnya ia berusaha. Ia berpuasa beberapa hari berturut-turut. Ia melepaskan selimutnya pada waktu malam dan hampir mati kedinginan pada saat menjalankan penebusan dosa. Ia bertiarap di lantai dan mengucapkan doa-doanya seperti mengeluh.
    Kelak kemudian hari ia menulis: " Seandainya seorang biarawan dapat masuk ke sorga melalui cara-cara kehidupan seorang biarawan, saya pasti telah berada di sana..... Saya pasti telah mati sebagai martir, jika saya meneruskannya lebih lama lagi dengan berjaga-jaga, berdoa, membaca dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya."
    Dr. John Staupitz, pemimpin paderi Ordo Augustinus di mana Luther menjadi anggotanya, berusaha membantu. "Kristus berarti pengampunan dosa," katanya kepada biarawan muda itu. "Tetapi anda harus mempunyai suatu daftar dosa yang sebenarnya tertulis, jika anda ingin agar Ia menolong anda."
    Luther berusaha menyebutkan dosa-dosanya, tetapi ini pun tidak memberi damai. Ia mempelajari dengan giat Alkitabnya yang berbahasa Latin dan berkulit merah itu, untuk mencari pelepas bagi bebannya.
    Pada suatu waktu dalam tahun 1508, ia sedang duduk dalam selnya yang kecil di sebuah menara sambil membaca Kitab Roma. Ketika ia sampai pada pasal pertama ayat ke tujuh belas, pikirannya itu mulai terang."Orang benar akan hidup oleh iman." Kata-kata itu terus memenuhi pikirannya. Apakah iman saja cukup? Ia berpikir-pikir.
    Kemudian ia menerima pesan dari kepala biara bahwa ia seorang biarawan yang lain telah dipilih untuk pergi ke Roma untuk memohon suatu pembaharuan dikalangan biarawan-biarawan Augustinus. Luther gembira sekali ketika ia mendengar berita itu. Tentu di kota suci itu ia akan menemukan damai rohani yang dirindukannya.
    Pada saat mata Luther memandang kota itu untuk pertama kali, ia jatuh tertelungkup dan menangis, "Hidup, Roma yang suci."
    Ia mengunjungi setiap tempat suci yang dapat ditemuinya di kota itu, untuk mencari pengampunan bagi dosa-dosanya. Ia tiba di tempat suci Sancta Sanctorum yang terkenal, di mana ada 28 anak tangga yang dianggap anak tangga yang pernah dilewati oleh Kristus pada waktu masuk ke dalam ruangan pengadilan Pilatus. Luther tahu bahwa Paus Leo IV telah menjanjikan keringanan hukuman 9 tahun kepada peziarah yang menaiki satu anak tangga dengan lututnya, sambil mengucapkan doa-doa yang telah ditentukan.
    Sambil menaiki anak tangga yang rusak satu ini demi satu inci, Luther melagukan doa-doanya. Di antara doa-doanya ia mengakui setiap dosa yang dapat diingatnya.
    Tiba-tiba ia ingat bagian dari Kitab Suci yang pernah dibacanya di dalam selnya di menara. "Orang benar akan hidup oleh iman." Kebenaran ini menggoncangkan seluruh hati sanubarinya. Ia ragu-ragu sejenak, kemudian dengan tiba-tiba ia berdiri dan menuruni tangga itu.
    Cahaya itu mulai bersinar, namun kegelapan rohani masih menguasai jiwanya.
   Setelah kembali ke Jerman, Luther menyelidiki Kitab Suci lebih lanjut lagi. Ia merenung selama berjam-jam pada saat ia menyelidiki Kitab Mazmur, Kitab Roma serta Kitab Galatia.
    Dalam suatu upacara yang khidmat di Universitas Wittenberg ia dianugerahi gelar doktor teologi. Hal ini memberikan hak kepadanya untuk mengajar teologi. Tetapi, sebagaiman yang ditulisnya kemudian, " Pada saat saya diberi gelar doktor, saya masih belum melihat cahaya itu."
    Ia memberi kuliah mengenai Kitab Mazmur, kemnudian ia melanjutkan langsung ke Kitab Roma, dimana ia sekali lagi bergumul dengan doktrin pembenaran oleh iman. Ia membenci ungkapan, "kebenaran Allah", oleh karena ia yakin bahwa hal itu adalah sifat yang justru dipakai oleh Allah untuk menghubungkan orang-orang yang berdosa. Ia tetap kembali pada kalimat, "Orang benar akan hidup oleh iman."
    Dengan segera cahaya itu memancar dan menyinari setiap bagian dari hatinya yang gelap. Kemudian ia berkata, "Saya tahu bahwa kebenaran Allah diterima dari Allah oleh sebab iman sebagai suatu anugerah. Saya tahu bahwa ini merupakan suatu alat yang dipakai oleh Allah Yang Mahamurah itu untuk menyatakan bahwa orang yang beriman itu benar."
    "Saya merasa dilahirkan baru. Seluruh isi Kitab Suci tampak lain bagi saya. Sekarang saya tidak lagi membenci, tetapi sangat mengasihi kebenaran Allah."
   
Maka Luther yang baru telah dilahirkan-- Luther yang membakar semangat seluruh benua Eropa dengan khotbahnya mengenai pembenaran oleh iman.

(dari buku: Bagaimana Tokoh-tokoh Kristen Bertemu dengan Kristus, James C. Hefley)

Thursday, April 25, 2013

A.W. Tozer: Following Hard After God

We pursue God because, and only because, He has first put an urge within us that spurs us to the pursuit. “No man can come to me,” said our Lord, “except the Father which hath sent me draw him,” and it is by this very prevenient drawing that God takes from us every vestige of credit for the act of coming. The impulse to pursue God originates with God, but the outworking of that impulse is our following hard after Him; and all the time we are pursuing Him we are already in His hand: “Thy right hand upholdeth me.”

(from a book The Pursuit of God, A.W. Tozer)

Kerinduan Seorang Anak Gembala

     Ulrich Zwingli yang berumur 7 tahun itu mengayunkan kakinya menuruni sebuah dataran di pegunungan Alpen, sementara saudara-saudaranya menggembalakan domba bersama-sama. Ia memandang ke seberang ke kota Zurich, melintas gunung-gunung yang puncaknya diliputi salju, tanpa berpikir bahwa ia akan memegang peranan dalam masa depan kota itu.
     "Marilah kita pergi, pemalas. Matahari akan segera terbenam." salah satu saudaranya memanggil dari bawah.
     "Biarkan saya mengagumi ciptaan Allah sebentar lagi," ia memohon.
     "Sudah tiba waktunya untuk pergi ke misa."
     Ulrich mengeluh sambil memungut tongkat gembala yang pendek yang telah dirautkan ayahnya. Ia merenungkan nyanyian Latin yang membosankan yang dinyanyikan oleh pendeta desa, yang tidak dimengerti oleh seorang juapun. Sambil mengikuti saudara-saudaranya dengan hati yang berat menyusuri jalan setapak yang sempit, ia bersungut-sungut, "Saya dapat melihat Allah lebih baik di sini daripada di gereja."
     Tahun berikutnya, ayahnya mengirim Ulrich untuk belajar dengan pamannya yang menjadi imam. Dua tahun kemudian ia dikirim ke sebuah sekolah swasta di Basel, Swiss, di mana ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin.
     Pada waktu ia berumur 13 tahun ia menyukai musik, mengarang dan puisi. Biarawan-biarawan Dominikan memperhatikan pemuda yang berbakat itu, dan mengajaknya memasuki biara.
     "Saya tidak begitu yakin akan apa yang Allah kehendaki agar saya lakukan," jawab anak laki-laki yang cepat dewasa itu." Bagaimana saya dapat menemukan Allah apabila saya dikurung dalam sebuah puri?".
sebuah pesan yang mendadak dari ayahnya mengatakan "Pulanglah segera. Jangan biarkan biarawan-biarawan itu mempengaruhimu."
     Ayah Ulrich mulai meragukan ajaran-ajaran gereja Roma, oleh karena itu Ulrich tidak memasuki biara, melainkan pergi untuk belajar di Universitas Wina. Ia menyukai pelajaran-pelajaran seni klasik di sana, tetapi ia mengeluh bahwa ia terlalu banyak mempelajari penyair-penyair kafir dan kurang cukup belajar mengenai Kristus.
     Dalam tahun 1507 ia menerima gelar doktornya. Ia baru berusia 22 tahun. Ia masih ingin mempelajari pengetahuan agama lebih banyak.
     "Thomas Wyttenback dapat mengajarkan Kitab Suci kepada anda," seorang mahasiswa temannya meyakinkan dia.
     Wyttenback ternyata kemudian menjadi seorang tokoh reformasi yang berani. Ia menunjukkan kepada Ulrich bagaimana penyucian dosa, doa-doa yang disampaikan kepada orang-orang suci, serta kekuasaan imam-imam itu tidak sesuai dengan ajaran Alkitab.
     "Tetapi jika saya tidak dapat mempercayai gereja siapa yang dapat saya percayai?" ratap Ulrich.
     "Anda dapat mempercayai Kristus," gurunya menjawab dengan tepat. "Ia sendiri yang memikul dosa-dosamu, bukan imam-imam itu."
     Ulrich Zwingli menyelidiki Alkitabnya yang berbahasa Latin sampai larut malam. Ketika ia kembali kepada gurunya, keyakinannya sudah bulat. "Saya telah menaruh kepercayaan saya di dalam Kristus yang telah mengampuni dosa-dosa saya," ia menyatakan.
     Jelaslah bagaiman besar artinya keputusan ini dalam tahun-tahun berikutnya. Setelah belajar lebih lanjut, Ulrich dengan berani menentang gereja Roma. Dalam tahun 1520, pada waktu ia melayani sebagai pendeta di Zurich, ia menyatakan, "Firman Tuhan akan mengalir seperti Sungai Rhine; orang boleh membendungnya sebentar, tetapi tidak dapat menghentikan arusnya."
     Friman Allah sungguh merupakan Air Hidup yang mengalir. Di balik pegunungan Alpen, di Jerman, Luther bersaksi karena menyadari khotbah-khotbah Zwingli yang berapi-api itu. Tiga belas tahun kemudian, John Calvin memperkenalkan keyakinannya mengenai hal dibenarkan oleh sebab iman. Dua tahu setelah itu, Menno Simons menjadi anggota barisan tokoh-tokoh reformasi. Kemudian muncul John Knox, pengobar api semngat rohani dari Skotlandia yang keyakinannya juga dipengaruhi oleh karanga-karangan Zwingli.
     Kelima-limanya -- Zwingli, Luther, Calvin, Simons dan Knox -- menggoncangkan seluruh benua Eropa selama abad XVI. Tetapi si anak gembala, Ulrich Zwingli, yang menjadi tokoh reformasi di Swiss itu, merupakan yang pertama di antara mereka yang percaya dengan sepenuhnya kepada Kristus.

(dari buku: Bagaimana Tokoh-tokoh Kristen Bertemu dengan Kristus, James C. Hefley)

Sunday, April 7, 2013

Belas Kasih Allah

Belas Kasih Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang saleh:
1. Belas kasih Allah merendahkan hati kita. (2 Sam.7:18)
2. Belas kasih Allah meluluhkan jiwa; melarutkannya ke dalam kasih kepada Allah. (1 Sam.24:17)
3. Belas kasih Allah membuat hati berubah.
4. Belas kasih Allah membuat hati bersyukur. (Mzm.116:12-13)
5. Belas kasih Allah menghidupkan. (Mzm.116:9)
6. Belas kasih Allah menimbulkan kemurahan terhadap sesama. (Mzm.112:5)

(All things for good, Thomas Watson)

Saturday, April 6, 2013

Memikirkan Hati Tuhan: Upah Dosa

Memikirkan Hati Tuhan: Upah Dosa: Roma 6:23 berkata... Upah dosa... adalah... maut... Upah adalah gaji... Wajib dibayarkan... Tidak boleh ditunda... Tidak boleh...

Memikirkan Hati Tuhan: Jawaban Tuhan Bijaksana

Memikirkan Hati Tuhan: Jawaban Tuhan Bijaksana: "Jawaban-jawaban Tuhan lebih bijaksana dari pada doa-doa kita". "Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada...

Friday, April 5, 2013

Don't Waste Your Life, John Piper



 “You get one pass at life. That’s all. Only one. And the lasting measure of that life is Jesus Christ.”

John Piper: Faith Glorifies God



 “Your daddy is standing in a swimming pool out a little bit from the edge. You are, let’s say, three years old and standing on the edge of the pool. Daddy holds out his arms to you and says, “Jump, I’ll catch you. I promise.” Now, how do you make your daddy look good at that moment? Answer: trust him and jump. Have faith in him and jump. That makes him look strong and wise and loving. But if you won’t jump, if you shake your head and run away from the edge, you make your daddy look bad. It looks like you are saying, “he can’t catch me” or “he won’t catch me” or “it’s not a good idea to do what he tells me to do.” And all three of those make your dad look bad.

But you don’t want to make God look bad. So you trust him. Then you make him look good–which he really is. And that is what we mean when we say, “Faith glorifies God” or “Faith gives God glory.” It makes him look as good as he really is. So trusting God is really important.

And the harder it seems for him to fulfill his promise, the better he looks when you trust him. Suppose that you are at the deep end of a pool by the diving board. You are four years old and can’t swim, and your daddy is at the other end of the pool. Suddenly a big, mean dog crawls under the fence and shows his teeth and growls at you and starts coming toward you to bite you. You crawl up on the diving board and walk toward the end to get away from him. The dog puts his front paws up on the diving board. Just then, your daddy sees what’s happening and calls out, “Johnny, jump in the water. I’ll get you.”

Now, you have never jumped from one meter high and you can’t swim and your daddy is not underneath you and this water is way over your head. How do you make your daddy look good in that moment? You jump. And almost as soon as you hit the water, you feel his hands under your arms and he treads water holding you safely while someone chases the dog away. Then he takes you to the side of the pool.

We give glory to God when we trust him to do what he has promised to do–especially when all human possibilities are exhausted. Faith glorifies God. That is why God planned for faith to be the way we are justified.” 

Thursday, April 4, 2013

Profersor Yang Bergairah : Aurelius Augustinus

     "Sst, jangan ribut, nanti ibumu bangun. Aku tidak ingin mendengar khotbahnya."
Ayah dan anak berjingkat-jingkat masuk ke dalam rumah Romawi mereka, namun si ibu mendengar mereka meskipun mereka berusaha supaya tidak di dengar. Sebelumnya mereka berkali-kali  merasa sakit hati oleh suaminya yang menghabiskan waktunya tiap-tiap malam dalam pesta-pesta. sekarang ia merasa lebih sakit hati oleh karena putranya Aurelius, yang baru saja berumur 17 tahun, telah menemani ayahnya dalam pesta-pestanya itu.
     Aurelius memandang dengan sedih kepada ibunya yang menangis, dan berkata, "Kami telah bersenang-senang." Ia tidak dapat merasakan usaha ibunya untuk mengajaknya menjadi orang Kristen.
     Setahun kemudian Aurelius menjadi ayah dari seorang anak yang tidak sah dan menghancurkan hati Monika dengan melanjutkan hidup bersama dengan ibu anak itu selama 13 tahun menikahinya. Ketika ayahnya meninggal, Aurelius sudah tidak dapat dipungkiri lagi hidup secara asusila. Monika terus mendoakan puteranya.
     Aurelius menjadi seorang Profesor dan mendirikan sekolahnya sendiri di Kartago, Afrika Utara. Pada masa itu kebanyakan pengajaran dilakukan di dalam rumah-rumah tangga dan ruangan-ruangan yang disewakan, serta uang kuliah siswa-siswanya digunakan untuk membayar gaji si guru dan pengeluaran-pengeluaran sekolah lainnya. Sekolahnya, yang terletak di Jalan Bankir, di kota yang terkenal di Afrika maju dengan pesat. Siswa-siswanya adalah keturunan bangsawan-bangsawan di kota itu. Aurelius merenung, pada suatu hari mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemerintah. Mereka akan mengingatnya dengan memberi dia satu jabatan yang istimewa. Segalanya tampak berjalan dengan baik.
     Kemudian sekolah Aurelius itu dirusak oleh gerombolah perampok. Pengalaman yang menakutkan ini menyebabkan dia melarikan diri dari Afrika. Lalu ia mendirikan sebuah sekolah di roma di mana tampaknya lebih aman.
     Suatu grup orang-orang Kristen palsu di sana yang disebut "Manicheans" menarik hati profesor muda itu. Aurelius menjadi mahasiswa yang giat dari aliran bidat itu yang mendasarkan doktrin-doktrinnya pada ajaran campuran yang aneh antara Alkitab dan filsafat Yunani. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ia berbicara dengan Uskup Fastus, seorang guru "Manichean" yang terkenal. Aurelius berpendapat bahwa orang itu tidak lain hanyalah seorang propagandis murahan oleh karena itu meninggalkan keyakinan yang telah dipertahankannya selama 9 tahun.
     Setahun setelah ia tiba di Roma, pemerintahan Romawi mengangkat dia menjadi profesor ilmu pidato di Milano. Aurelius mengundang ibunya untuk ikut dengannya. Ibunya tidak pernah berhenti mendoakan dia supaya bertobat.
     Di Milano, Aurelius disambut oleh Uskup Ambrosius, seorang pemimpin Kristen yang penuh pengabdian dan seorang penduduk yang paling berpengaruh di kota itu. "Mari, dengarlah saya berkhotbah." Pengkhotbah yang ternama itu mengundangnya.
     Dengan acuh tak acuh Aurelius pergi untuk mendengar khotbah Uskup Ambrosius. Namun cara Uskup itu berbicara dengan halus menyenangkan hati Aurelius sehingga ia pergi mendengarnya berulang-ulang. Pada suatu hari Ambrosius berkhotbah tentang Raja Daud. "Bahwa Daud berdosa itu karena ia manusia, namun pertobatannya itu merupakan sesuatu yang luar biasa," katanya. "Manusia mengikuti dosa Daud; tetapi mereka tidak meneladan dia pada saat ia mengakui dosanya dan bertobat."
     Kehidupan masa lalu Aurelius yang asusila itu mulai menghantuinya. Ia telah berdosa seperti Daud, tetapi ia tidak bertobat seperti Daud.
     Oleh karena perasaan-perasaan ersalah itu bertambah kuat, keragu-raguannya mengenai agama Kristen menjadi hilang. Akhirnya ia dapat mengatakan dengan tulus bahwa Kitab Suci itu wahyu Allah dan bahwa Yesus itu Anak Allah. tapi nafsunya untuk berbuat dosa itu masih mendorong dia untuk terus menjalani kehidupan yang asusila.
     Hatinya yang lapar bergumuldengan dosanya sampai pada suatu hari ia masuk ke dalam sebuah taman dan berlutut di bawah sebuah pohon ara dan memohon, "O Tuhan, akhirilah perbuatan hamba yang jahat ini."
Pada saat itu juga ia mendengar suara seorang anak di luar taman itu seperti menyanyi, " Tolle lege! Tolle lege! Ambil dan bacalah! Ambil dan bacalah!".
     Aurelius melihat ke bawah. Di hadapannya ada suatu kutipan dari Surat Roma, yang telah dibiarkannya sebelumnya. Matanya memandang pada kalimat "Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." (Roma 13:13,14).
     Dengan sukacita Aurelius menunjukkan kutipan tadi kepada teman dekatnya, Alypius. "Saya telah mengenakan Kristus," katanya. Hati saya dipenuhi dengan damai."
     Kemudian Aurelius dengan cepat mengatakan kepada ibunya, Monika, bahwa doanya yang telah disampaikan selama bertahun-tahun itu telah terjawab. Kemudian setelah mengikuti pelajaran istimewa, Aurelius dibaptiskan oleh Uskup Ambrosius.
     Profesor Aurelius Augustinus menghabiskan waktunya yang penuh dengan buah-buah rohani selama 44 tahun melayani Kristus dan selama itu menulis 70 buku Kristen. Salah satu diantaranya ialah The Confessions of St. Augustine, yang telah dinilai oleh ahli-ahli kesusastraan sebagai salah satu buku dari seratus buku yang terbaik sepanjang zaman. The Confessions ditunjukkan kepada Allah dan buku itu berisi ungkapan yang sering dikutip. "Engkau telah menjadikan kami bagi-Mu, dan hati kami tidak tenang sampai kami bersandar padamu."
     Augustinus meninggal dengan damai pada tahun 430, tidak lama setelah Roma jatuh ke tangan bangsa barbar. Pada waktu itu ia menjadi Uskup di Hippo, Afrika Utara. Pada saat ia meninggal, kota itu sedang dikepung oleh bangsa Vandal dari sebelah utara.
     Namun pengaruh serta ajaran rohaninya hidup terus sampai Abad Pertengahan, mengilhami pemimpin-pemimpin Reformasi seperti Luther dan Calvin untuk memberontak melawan hirarki Kristen yang menyeleweng.
     Aurelius Augustinus, profesor kafir yang menerima Kristus di sebuah taman di Italia itu pada masa sekarang diingat oleh ahli-ahli sejarah Gereja sebagai orang Kristen yang paling berpengaruh sejak zaman Rasul Paulus.

(James C. Hefley, Bagaimana Tokoh-Tokoh Kristen Bertemu Dengan Kristus)