Thursday, April 25, 2013

Kerinduan Seorang Anak Gembala

     Ulrich Zwingli yang berumur 7 tahun itu mengayunkan kakinya menuruni sebuah dataran di pegunungan Alpen, sementara saudara-saudaranya menggembalakan domba bersama-sama. Ia memandang ke seberang ke kota Zurich, melintas gunung-gunung yang puncaknya diliputi salju, tanpa berpikir bahwa ia akan memegang peranan dalam masa depan kota itu.
     "Marilah kita pergi, pemalas. Matahari akan segera terbenam." salah satu saudaranya memanggil dari bawah.
     "Biarkan saya mengagumi ciptaan Allah sebentar lagi," ia memohon.
     "Sudah tiba waktunya untuk pergi ke misa."
     Ulrich mengeluh sambil memungut tongkat gembala yang pendek yang telah dirautkan ayahnya. Ia merenungkan nyanyian Latin yang membosankan yang dinyanyikan oleh pendeta desa, yang tidak dimengerti oleh seorang juapun. Sambil mengikuti saudara-saudaranya dengan hati yang berat menyusuri jalan setapak yang sempit, ia bersungut-sungut, "Saya dapat melihat Allah lebih baik di sini daripada di gereja."
     Tahun berikutnya, ayahnya mengirim Ulrich untuk belajar dengan pamannya yang menjadi imam. Dua tahun kemudian ia dikirim ke sebuah sekolah swasta di Basel, Swiss, di mana ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin.
     Pada waktu ia berumur 13 tahun ia menyukai musik, mengarang dan puisi. Biarawan-biarawan Dominikan memperhatikan pemuda yang berbakat itu, dan mengajaknya memasuki biara.
     "Saya tidak begitu yakin akan apa yang Allah kehendaki agar saya lakukan," jawab anak laki-laki yang cepat dewasa itu." Bagaimana saya dapat menemukan Allah apabila saya dikurung dalam sebuah puri?".
sebuah pesan yang mendadak dari ayahnya mengatakan "Pulanglah segera. Jangan biarkan biarawan-biarawan itu mempengaruhimu."
     Ayah Ulrich mulai meragukan ajaran-ajaran gereja Roma, oleh karena itu Ulrich tidak memasuki biara, melainkan pergi untuk belajar di Universitas Wina. Ia menyukai pelajaran-pelajaran seni klasik di sana, tetapi ia mengeluh bahwa ia terlalu banyak mempelajari penyair-penyair kafir dan kurang cukup belajar mengenai Kristus.
     Dalam tahun 1507 ia menerima gelar doktornya. Ia baru berusia 22 tahun. Ia masih ingin mempelajari pengetahuan agama lebih banyak.
     "Thomas Wyttenback dapat mengajarkan Kitab Suci kepada anda," seorang mahasiswa temannya meyakinkan dia.
     Wyttenback ternyata kemudian menjadi seorang tokoh reformasi yang berani. Ia menunjukkan kepada Ulrich bagaimana penyucian dosa, doa-doa yang disampaikan kepada orang-orang suci, serta kekuasaan imam-imam itu tidak sesuai dengan ajaran Alkitab.
     "Tetapi jika saya tidak dapat mempercayai gereja siapa yang dapat saya percayai?" ratap Ulrich.
     "Anda dapat mempercayai Kristus," gurunya menjawab dengan tepat. "Ia sendiri yang memikul dosa-dosamu, bukan imam-imam itu."
     Ulrich Zwingli menyelidiki Alkitabnya yang berbahasa Latin sampai larut malam. Ketika ia kembali kepada gurunya, keyakinannya sudah bulat. "Saya telah menaruh kepercayaan saya di dalam Kristus yang telah mengampuni dosa-dosa saya," ia menyatakan.
     Jelaslah bagaiman besar artinya keputusan ini dalam tahun-tahun berikutnya. Setelah belajar lebih lanjut, Ulrich dengan berani menentang gereja Roma. Dalam tahun 1520, pada waktu ia melayani sebagai pendeta di Zurich, ia menyatakan, "Firman Tuhan akan mengalir seperti Sungai Rhine; orang boleh membendungnya sebentar, tetapi tidak dapat menghentikan arusnya."
     Friman Allah sungguh merupakan Air Hidup yang mengalir. Di balik pegunungan Alpen, di Jerman, Luther bersaksi karena menyadari khotbah-khotbah Zwingli yang berapi-api itu. Tiga belas tahun kemudian, John Calvin memperkenalkan keyakinannya mengenai hal dibenarkan oleh sebab iman. Dua tahu setelah itu, Menno Simons menjadi anggota barisan tokoh-tokoh reformasi. Kemudian muncul John Knox, pengobar api semngat rohani dari Skotlandia yang keyakinannya juga dipengaruhi oleh karanga-karangan Zwingli.
     Kelima-limanya -- Zwingli, Luther, Calvin, Simons dan Knox -- menggoncangkan seluruh benua Eropa selama abad XVI. Tetapi si anak gembala, Ulrich Zwingli, yang menjadi tokoh reformasi di Swiss itu, merupakan yang pertama di antara mereka yang percaya dengan sepenuhnya kepada Kristus.

(dari buku: Bagaimana Tokoh-tokoh Kristen Bertemu dengan Kristus, James C. Hefley)

2 comments: