Thursday, April 4, 2013

Profersor Yang Bergairah : Aurelius Augustinus

     "Sst, jangan ribut, nanti ibumu bangun. Aku tidak ingin mendengar khotbahnya."
Ayah dan anak berjingkat-jingkat masuk ke dalam rumah Romawi mereka, namun si ibu mendengar mereka meskipun mereka berusaha supaya tidak di dengar. Sebelumnya mereka berkali-kali  merasa sakit hati oleh suaminya yang menghabiskan waktunya tiap-tiap malam dalam pesta-pesta. sekarang ia merasa lebih sakit hati oleh karena putranya Aurelius, yang baru saja berumur 17 tahun, telah menemani ayahnya dalam pesta-pestanya itu.
     Aurelius memandang dengan sedih kepada ibunya yang menangis, dan berkata, "Kami telah bersenang-senang." Ia tidak dapat merasakan usaha ibunya untuk mengajaknya menjadi orang Kristen.
     Setahun kemudian Aurelius menjadi ayah dari seorang anak yang tidak sah dan menghancurkan hati Monika dengan melanjutkan hidup bersama dengan ibu anak itu selama 13 tahun menikahinya. Ketika ayahnya meninggal, Aurelius sudah tidak dapat dipungkiri lagi hidup secara asusila. Monika terus mendoakan puteranya.
     Aurelius menjadi seorang Profesor dan mendirikan sekolahnya sendiri di Kartago, Afrika Utara. Pada masa itu kebanyakan pengajaran dilakukan di dalam rumah-rumah tangga dan ruangan-ruangan yang disewakan, serta uang kuliah siswa-siswanya digunakan untuk membayar gaji si guru dan pengeluaran-pengeluaran sekolah lainnya. Sekolahnya, yang terletak di Jalan Bankir, di kota yang terkenal di Afrika maju dengan pesat. Siswa-siswanya adalah keturunan bangsawan-bangsawan di kota itu. Aurelius merenung, pada suatu hari mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemerintah. Mereka akan mengingatnya dengan memberi dia satu jabatan yang istimewa. Segalanya tampak berjalan dengan baik.
     Kemudian sekolah Aurelius itu dirusak oleh gerombolah perampok. Pengalaman yang menakutkan ini menyebabkan dia melarikan diri dari Afrika. Lalu ia mendirikan sebuah sekolah di roma di mana tampaknya lebih aman.
     Suatu grup orang-orang Kristen palsu di sana yang disebut "Manicheans" menarik hati profesor muda itu. Aurelius menjadi mahasiswa yang giat dari aliran bidat itu yang mendasarkan doktrin-doktrinnya pada ajaran campuran yang aneh antara Alkitab dan filsafat Yunani. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ia berbicara dengan Uskup Fastus, seorang guru "Manichean" yang terkenal. Aurelius berpendapat bahwa orang itu tidak lain hanyalah seorang propagandis murahan oleh karena itu meninggalkan keyakinan yang telah dipertahankannya selama 9 tahun.
     Setahun setelah ia tiba di Roma, pemerintahan Romawi mengangkat dia menjadi profesor ilmu pidato di Milano. Aurelius mengundang ibunya untuk ikut dengannya. Ibunya tidak pernah berhenti mendoakan dia supaya bertobat.
     Di Milano, Aurelius disambut oleh Uskup Ambrosius, seorang pemimpin Kristen yang penuh pengabdian dan seorang penduduk yang paling berpengaruh di kota itu. "Mari, dengarlah saya berkhotbah." Pengkhotbah yang ternama itu mengundangnya.
     Dengan acuh tak acuh Aurelius pergi untuk mendengar khotbah Uskup Ambrosius. Namun cara Uskup itu berbicara dengan halus menyenangkan hati Aurelius sehingga ia pergi mendengarnya berulang-ulang. Pada suatu hari Ambrosius berkhotbah tentang Raja Daud. "Bahwa Daud berdosa itu karena ia manusia, namun pertobatannya itu merupakan sesuatu yang luar biasa," katanya. "Manusia mengikuti dosa Daud; tetapi mereka tidak meneladan dia pada saat ia mengakui dosanya dan bertobat."
     Kehidupan masa lalu Aurelius yang asusila itu mulai menghantuinya. Ia telah berdosa seperti Daud, tetapi ia tidak bertobat seperti Daud.
     Oleh karena perasaan-perasaan ersalah itu bertambah kuat, keragu-raguannya mengenai agama Kristen menjadi hilang. Akhirnya ia dapat mengatakan dengan tulus bahwa Kitab Suci itu wahyu Allah dan bahwa Yesus itu Anak Allah. tapi nafsunya untuk berbuat dosa itu masih mendorong dia untuk terus menjalani kehidupan yang asusila.
     Hatinya yang lapar bergumuldengan dosanya sampai pada suatu hari ia masuk ke dalam sebuah taman dan berlutut di bawah sebuah pohon ara dan memohon, "O Tuhan, akhirilah perbuatan hamba yang jahat ini."
Pada saat itu juga ia mendengar suara seorang anak di luar taman itu seperti menyanyi, " Tolle lege! Tolle lege! Ambil dan bacalah! Ambil dan bacalah!".
     Aurelius melihat ke bawah. Di hadapannya ada suatu kutipan dari Surat Roma, yang telah dibiarkannya sebelumnya. Matanya memandang pada kalimat "Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." (Roma 13:13,14).
     Dengan sukacita Aurelius menunjukkan kutipan tadi kepada teman dekatnya, Alypius. "Saya telah mengenakan Kristus," katanya. Hati saya dipenuhi dengan damai."
     Kemudian Aurelius dengan cepat mengatakan kepada ibunya, Monika, bahwa doanya yang telah disampaikan selama bertahun-tahun itu telah terjawab. Kemudian setelah mengikuti pelajaran istimewa, Aurelius dibaptiskan oleh Uskup Ambrosius.
     Profesor Aurelius Augustinus menghabiskan waktunya yang penuh dengan buah-buah rohani selama 44 tahun melayani Kristus dan selama itu menulis 70 buku Kristen. Salah satu diantaranya ialah The Confessions of St. Augustine, yang telah dinilai oleh ahli-ahli kesusastraan sebagai salah satu buku dari seratus buku yang terbaik sepanjang zaman. The Confessions ditunjukkan kepada Allah dan buku itu berisi ungkapan yang sering dikutip. "Engkau telah menjadikan kami bagi-Mu, dan hati kami tidak tenang sampai kami bersandar padamu."
     Augustinus meninggal dengan damai pada tahun 430, tidak lama setelah Roma jatuh ke tangan bangsa barbar. Pada waktu itu ia menjadi Uskup di Hippo, Afrika Utara. Pada saat ia meninggal, kota itu sedang dikepung oleh bangsa Vandal dari sebelah utara.
     Namun pengaruh serta ajaran rohaninya hidup terus sampai Abad Pertengahan, mengilhami pemimpin-pemimpin Reformasi seperti Luther dan Calvin untuk memberontak melawan hirarki Kristen yang menyeleweng.
     Aurelius Augustinus, profesor kafir yang menerima Kristus di sebuah taman di Italia itu pada masa sekarang diingat oleh ahli-ahli sejarah Gereja sebagai orang Kristen yang paling berpengaruh sejak zaman Rasul Paulus.

(James C. Hefley, Bagaimana Tokoh-Tokoh Kristen Bertemu Dengan Kristus)

No comments:

Post a Comment